Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Juni 2011

Analisis Kosa Kata Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia


HUBUNGAN BAHASA DAERAH DAN NASIONAL;
ANALISIS KOSA KATA BAHASA SUNDA DENGAN
BAHASA INDONESIA

A.                Sikap Orang Sunda Terhadap Bahasanya
Tingkat penggunaan bahasa Sunda oleh generasi sekarang menurun. Data menunjukkan bahwa responden lebih cenderung memilih kombinasi Sunda-Indonesia (46.4%) daripada Sunda saja (39.3%) atau Indonesia saja (14.3%).

Kecenderungan beralih ke bahasa Indonesia tampaknya bukan dikarenakan bahasa Sunda dianggap ketinggalan zaman, bukan pula karena Bahasa Sunda sudah tidak diperlukan lagi karena sudah ada bahasa nasional. Ini lebih karena sikap positif orang Sunda terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia tampaknya membius orang Sunda sehingga mengurangi penggunaan bahasa Sunda.

Dalam kaitannya dengan identitas kesundaan dan keindonesiaan, tampaknya orang Sunda memiliki sikap yang relatif seimbang. Mereka ingin memiliki identitas Sunda sebagai identitas etnik/daerah, dan identitas Indonesia sebagai identitas kebangsaan. Selanjutnya, mayoritas responden setuju bahwa bahasa Sunda sebaiknya dilindungi secara hukum.



B.                 Analisis kosa kata bahasa Sunda dengan Bahasa Indonesia.
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Sejak tahun 1950-an keluhan semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka.

Berikut ini contoh kosa kata bahasa sunda dengan bahasa Indonesia.

1.   Berat  =  Berat
2.   Menang  =  Menang

Kata “Berat” dan “Menang” dalah bahasa sunda dan bahasa Indonesia bila kita lihat sekilas tidak ada yang berbeda yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi bila kita tinjau dari segi fonologi (bunyi) tentu ada rasa yang berbeda yang dirasakan oleh pendengar bila diucapkan dalam bahasa sunda dan bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Sunda kata “Berat dan Menang” diucapkan dengan posisi lidah pada saat pengucapan “Be+rat” dan “Me+nang" berada diantara gigi atas dan gigi bawah dengan posisi mulut terbuka sedikit, sedangkan dalah bahasa Indonesia pengucapan “Be+rat  dan Me+nang” posisi lidah berada  dilengkung kaki gigi atas, sehingga bunyi yang dikerluarkan menjadi berubah, hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan kebudayaan yang berada dilingkungan masyarakat sekitar orang sunda, karna orang sunda mengenal vokal selain a/i/u/e/o diantaranya /eu/.

Sehingga bila kita lihat dari segi ortografi maka ini terjadi perubahan ejahan,

Dalam ejaan bahasa sunda
Berat + eu = Beu/rat .
Menang + eu = Meu/nang.

Perubahan tersebut kita ditinjau dari ejaan Fonemis, dimana ejaan fonemis itu ejaan yang hanya bunyi – bunyi berstatus fonem saja yang diperhitungkan dalam penentuan huruf dipergunakan. Apabila dipandang dari segi pengucapannya memeng berbeda, akan tetapi karna tergolong satu fonem, maka sesuai dengan ejaan fonemis keduanya dituliskan dengan satu  macam huruf saja.

Dalam ejaan Fonemis
Jenis VII : Aneka macam bunyi dilambangkan dengan satu macam huruf, sehingga menjadi;

/eu / ditulis ( )  maka menjadi “B∂ rat” dan  “M∂nang” atau
/∂/ pada / B∂rat / ------- Berat,
/∂/ Pada / M∂nang / ---- Menang



Atau dengan kata lain orang sunda sering menggunakan vokal /eu/ yang sekarang menjadi suatu ciri orang sunda dalah berbahasa. Sedangkan pada ejaan bahasa Indonesia tidak ada yang berubah baik dari ejaan maupun bunyi. 

C.                Sikap Pemerintah dan Dampaknya
Hubungan bahasa daerah dengan bahasa nasional mengalami pasang surut. Dinamika ini melahirkan berbagai kebijakan yang cenderung merugikan bahasa daerah. Pemerintah cenderung menyerahkan nasib bahasa daerah kepada para penuturnya saja, padahal pengembangan bahasa daerah adalah amanat UUD (Rosidi 2004a).

 Sikap pemerintah ini tercermin pada ketidakseriusan pemerintah dalam penyediaan guru bahasa daerah dan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di SD, Rosidi (2001:19-20)

Menenggarai dua penyebab terpuruknya bahasa daerah :
1.      Terjadinya salah kaprah atas bunyi Sumpah Pemuda butir ke-3, yang pernah dipelintir menjadi mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia padahal seharusnya menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia .
2.      Adanya anggapan bahwa bahasa-bahasa daerah itu. berhubungan erat dengan stratifikasi sosial-tradisional yang akan menghambat laju pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar